Saturday, July 24, 2010

Catatan Perjalanan : Diklan Navdar JR, Gambung, Pasir Jambu, 29 - 30 Maret 2008.

Hujan yang turun dengan lebatnya tidak serta merta menghentikan kegiatanku dan Danang untuk mencari poin yang masih tersisa. Mata kami berdua masih sibuk mencari di antara semak belukar sungai . Menurut orientasi yang telah kami lakukan, harusnya kami sudah berada pada titik di mana seharusnya poin berada, namun apa daya, telah lebih dari setengah jam kami mencari, dan hasilnya masih juga nihil. Sebal juga sih, tapi apa lacur.

Siang itu, kami sedang mengikuti pendidikan navigasi darat. Sebagai seorang penggiat alam, kemampuan navigasi darat adalah salah satu kemampuan yang wajib untuk kami miliki. Bayangkan saja apa jadinya nasib kami ketika berkegiatan di alam bebas tapi menentukan posisi diri sendiri saja tidak bisa, ibarat naek motor tapi pakai tutup mata, bunuh diri. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, kami diberikan pemahaman tentang pembacaan peta kontur dan pembacaan kompas. Mengingat setiap daerah memiliki karakteristik masing-masing, seperti berupa dataran, pegunungan, perbukitan, sungai, daerah perairan, dan lain-lain. Sehingga wajar jika materi ini tidak mudah dimengerti dengan cepat. Dalam hal ini praktek sangat diperlukan untuk dapat memahami keadaan / karakteristik suatu daerah tersebut.

Oleh karena itu tepat sekali jika materi navigasi darat menjadi pendidikan yang pertama kali kami dapatkan. Berkenaan masalah tempat, untuk kali ini diklan navdar diadakan di daerah Gambung, tepatnya di Desa Gambung, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Daerah Gambung merupakan daerah perkebunan teh dan sayur –sayuran yang berada di dataran tinggi. Penduduk sekitar mayoritas bermatapencaharian sebagai pekerja perkebunan teh dan berladang. Pelaksanaanya disepakati pada tanggal 29 - 30 Maret 2008. Agak ngeri juga sih, soalnya minggu depannya sudah hari pertama UTS.

Kami berangkat menuju Gambung dari sekretariat pada Sabtu pagi dengan mencarter angkot. Kebetulan sopirnya adalah tetangga dari Handung, temen seangkatan kami, sehingga kami mendapat harga yang agak murah, hanya 300rb pulang pergi. Perjalanan sendiri memakan waktu sekitar 2 jam. Agak tersiksa juga sih, angkot sekecil itu diisi 11 orang, masih ditambah pula 8 carier segedhe bagong, serasa ikan pepes kami semua jadinya.

Pukul 10.00 angkot kami akhirnya telah sampai di titik camp. Segera saja kami bergegas untuk mendirikan camp supaya lekas bisa beristirahat. Sebelumnya telah dilakukan pembagian tugas, ada yang mendirikan dome, mempersiapkan lokasi camp, memasak dan mengambil air. Semua sibuk dengan kerjanya masing masing.

Sekitar pukul 12.30, seusai makan siang, kami memulai kegiatan siang itu dengan berlatih mengorientasi posisi. Teknik teknik seperti resection dan intersection mutlak harus kami miliki saat itu. Kemudian dilakukan pembagian kelompok beserta instruktur untuk berlatih navigasi dengan berkeliling di sekitar lokasi camp. Aku tergabung bersama Pinan dan Bayu dengan Sigit bertindak sebagai instruktur. Meskipun agak susah, namun kondisi sekitar yang sangat indah membuat kami sangat menikmati sore itu. Hamparan hijau perkebunan teh sangat memanjakan kedua bola mata kami.

Pukul 16.00, setelah puas berkeliling, kami kembali ke camp. Rupanya kelompok lain telah sampai di basecamp. Ketika kami sampai, terlihat bermacam macam kesibukan setiap orang. Ada yang sedang mengobrol, membuat api, memotong kayu bakar. Ada pula yang sedang memasak. Kegiatan pada sabtu itu kami tutup dengan evaluasi, briefing dan pembagian kelompok untuk esok hari, meskipun pada kenyataanya, kegiatan masih berlanjut sampai tengah malam, menikmati api unggun yang berkobar hebat di depan camp kami, permainan kartu pun semakin menghangatkan kegiatan kami di malam itu.

Pagi harinya, setelah sarapan dan membongkar camp, kami semua melakukan pergerakan menuju sebuah saung yang akan menjadi basecamp kami siang itu. Sesampainya di sana, kami segera bergegas untuk melakukan pemasangan point pada koordinat yang telah ditentukan. Aku menjadi satu kelompok dengan Danang, Engkong bertindak sebagai instruktur kami. Lokasi poin yang cukup jauh semakin mempercepat langkah kami, karena waktu yang diberikan tidak begitu banyak, hanya 2 jam saja, sementara poin yang harus kami pasang ada lima buah, dengan koordinat posisi yang agak berjauhan pula.

Pukul 11.20 kami memutuskan kembali ke saung, meskipun target kami tidak tercapai, masih ada 1 poin yang belum kami pasang. Namun tidak masalah, karena kami sudah lumayan mengerti tentang materi navigasi. Rencananya setelah makan siang, kami akan melanjutkan materi selanjutnya, yaitu mencari poin.

Untuk siang ini, aku masih sekelompok dengan Danang, namun berganti instruktur yaitu Boleng. Pada mulanya, pencarian kami lumayan lancar, 2 poin pertama dapat ditemukan dengan lumayan mudah karena letaknya sangat sesuai dengan koordinat yang kami dapatkan. Namun memasuki poin ketiga, lumayan menyusahkan, karena menurut kami, letak poin bergeser lumayan jauh dengan seharusnya poin berada. Ditambah lagi dengan cuaca yang mulai gelap oleh mendung yang cukup pekat. Hujan pun turun dengan lebatnya ketika kami mencari poin keempat di sekitar aliran sungai.

Melihat kondisi yang seperti itu dan waktu yang sudah menginjak sore hari, akhirnya kami kembali ke saung, lagi lagi dengan target yang belum tercapai, masih ada dua poin yang belum kami temukan. Sesampainya di saung ternyata belum semua berkumpul, sepertinya mereka masih dalam perjalanan. Setelah menunggu beberapa saat, semua anggota telah berkumpul, carteran angkot pun telah datang. Segera saja kami bergegas untuk pulang menuju sekretariat tercinta kembali.

Pulang


Perlahan tapi pasti , udara panas semerbak mengalir di antara celah celah kecil jendela halte. Panas memang. Tapi entah kenapa ia terasa sangat nyaman, menyejukkan bahkan. Kehadirannya serasa memutar kembali semua memori tentang tempat ini.

Ini hari, setelah sekian lama, akhirnya tiba juga waktuku untuk pulang. Mudik, seperti kebanyakan masyarakat kita menyebutkannya demikian. Berbulan bulan melewati segala persoalan, hari ini menjadi teramat sangat istimewa.

Lama aku menunggu, akhirnya ia datang juga. Sebuah bus berukuran sedang bercat hijau berhenti tepat di depanku. Secara perlahan pintu pun terbuka, dan seketika itu pula kutemui seulas senyum kecil tersungging dari wajah seorang pemuda yang berdiri tepat di samping pintu bus. Pemuda itu tampak canggung. Namun aku tahu dari wajahnya terpancar semangat. Apapun semangat itu, terasa sangat menggetarkan jiwaku. Dan memang benar adanya, ketika kami berdua bertatapan mata, terlihat olehku adanya harapan kuat mengalir dari tatapan matanya. Dalam kenyataan bahwa dirinya hanya seorang kondektur, tidak membatasi dirinya untuk dapat lebih berguna bagi orang lain. Bahkan seulas kecil senyum aku rasa dapat memberikan harapan dan ketenangan bagi orang lain. Dan hal ini tepat bisa dilakukan olehnya, dengan atau tanpa ia sadari.

Tanpa kubiarkan anganku melayang terlampau jauh, segera kulangkahkan kakiku memasuki bus itu. Pandanganku segera tertuju ke sebuah bangku di samping jendela belakang kursi sopir. Bangku itu kosong, dan entah kenapa ketika mengetahui hal itu, tanpa sadar terdengar alhamdulillah mengalir lirih dari mulutku. Hal yang selama ini sangat jarang terjadi. Aku sendiri juga kaget mendengarnya. Senyum sang kondektur ternyata berefek sampai di bawah alam sadarku, untuk kemudian membangkitkan kepribadian lain dalam diriku atau apapun itu aku juga tak memahaminya.

Dari awal memang telah kurencanakan untuk duduk di pinggir jendela. Bagiku terasa sangat menyenangkan dapat melihat orang orang sedang berlalu lalang mengerjakan sesuatu. Dari tempat ini pula aku ingin melihat kota ini setelah sekian lama aku tinggalkan. Setidaknya demikianlah rencanaku pada mulanya.

Setelah semua penumpang terangkut, pelan pelan bus bergegas pergi meninggalkan halte tadi. Keadaan di dalam bus cukup lengang, hanya ada sekitar tujuh orang penumpang. Di bangku belakang seorang bapak sedang bercanda dengan dua orang anak kecil, yang aku rasa keduanya adalah putra-putrinya. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. Dua bangku di sampingnya seorang pria paruh baya sedang sibuk membolak balik halaman sebuah suratkabar terkemuka di negeri ini, yang menurut isu yang pernah aku dengar merupakan perpanjangan tangan sebuah misi keagamaan tertentu. Di samping pria itu, tampak tertidur pulas seorang pemuda yang aku rasa seorang mahasiswa. Di tangannya tertekuk sebuah jas almameter yang kalau aku tidak salah merupakan jas almameter perguruan tinggi negeri terkemuka di kota ini. Dua orang lagi aku tak mempunyai gambaran apa dan siapa mereka. Mungkin hanya orang biasa. Mungkin juga tidak. Yang jelas tak sedikit pun terlintas pikiranku tentang mereka.

Kubuka ritsleting tasku, kuambil sepasang headset sebuah merk handphone yang sudah sangat dikenal masyarakat kita. Segera saja kusambungkan dengan handphone, dan langsung aku pencet menu radio. Daripada terus terusan melamun tidak jelas, aku rasa akan lebih menyenangkan mendengarkan siaran radio kota ini yang sudah lama tidak aku dengar. Channel radio berfrekuensi 101.7 fm menjadi pilihanku. Dan tidak lama kemudian segera mengalun lagu lagu anak negeri ini.

Bus perlahan berhenti. Pintu terbuka, hal yang sama kembali terjadi, tapi aku tidak yakin ada orang yang akan berpikiran sama denganku tadi. Aku rasa tidak mudah bagi seseorang untuk berpikiran sama dengan orang lain, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Tapi ini lah yang kemudian terjadi. Sesosok perempuan, aku menyebutnya perempuan karena aku rasa perempuan memiliki derajat lebih tinggi dari seorang wanita, berdiri tepat di depan halte, bergegas masuk kedalam bus ini. Masih dalam pandanganku, perempuan itu menuju bangku kosong di samping jendela tepat di depanku. Aku rasa inilah yang disebut salah satu anugerah terindah dari yang mahakuasa, bahwa tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya telah tertulis oleh kuasaNya, termasuk kejadian yang saat ini terjadi.

Dari wajahnya terpancar aura keanggunan, keangkuhan. Bagi sebagian orang mungkin ia cantik, mungkin pula tidak. Tidak ada penggambaran jelas tentang dirinya. Setiap orang punya hak prerogative untuk mengintrepentasikannya sendiri.

Saat itu entah kebetulan atau tidak, dari kedua earphone yang tergantung di telingaku mengalun sebuah lagu yang sudah lama tak terdengar olehku. Untaian nada yang memberi renungan , yang memberi ketenangan, yang memberi harapan, lagu yang penuh kenangan. Lirik yang jujur, yang pantas menjadi renungan bagi semua orang.

Sebuah cinta telah datang dariNya
Pada kita yang tlah terlupa akan satu nikmat dunia
Hingga kita pun terus terlena
Meninggalkan melupakanNya
Mengangkat semua sisi dunia
Hingga kita membuat Dia murka

Tuhan telah menjatuhkan cobaan
Dengan cinta pemberianNya
Dia tumpahkan titik murka
Sadarkah kita ini sepaham
Tuk mengerti arti cinta
Yang telah dianugerhkanNya

Karna cinta yang bisa membuat kita lupa
Dan bisa membuat kita luka
Tak terhingga sakit terasa

Tapi semua karna cinta
Yang bisa buka hati kita
Mengubah semua jadi indah
Hingga tiada tangis dan duka.

Aku terdiam, ada sesuatu yang mengalir di dadaku. Apapun itu terasa menyesakkan tapi entah kenapa juga menyejukkan. Aneh, tapi inilah bukti lain indahnya kuasaNya.

Bus perlahan melambat. Aku terhenyak dari lamunanku. Kini tinggal aku satu satunya penumpang di bus ini. Tak berapa lama lagi aku akan sampai di tempat itu. Dan memang benar. Di kejauhan mulai tampak sebuah bangunan yang sangat aku kenal. Monumen batu yang telah mejadi saksi perubahan peradaban di negeri ini.

Dengan diiringi senyum yang sama, dengan langkah yang penuh keyakinan segera kujejakkan kakiku keluar dari bus ini. Inilah akhirnya. Inilah akhirnya. Aku pulang. Jogja, I’m home.

Intan dan Arang; Bagaimana cara kita melihat sesuatu?

"intan dan arang". Akhir akhir ini saya sering sekali membaca dan mendengar tentang kedua material tersebut. Kalo tidak salah kedua material terbuat dari reaksi kimia yg sama, yaitu reaksi pembakaran. Dan normalnya manusia, tentu akan mengharapkan hasil reaksi yang berupa intan, secara nilai materialnya jauh lebih tinggi daripada arang.

Sebenarnya mana sih yang lebih berharga, intan apa arang? Kalo sepintas, pasti orang orang setuju intan yg lebih berharga, tapi apakah selalu seperti itu? Tapi kalo menurut saya sih tidak harus selalu begitu. Coba kalo kita tanyakan pada seorang pendaki gunung yg sedang tersesat kdinginan dan terserang gejala hypothermia, mana yg dia pilih, arang atau intan, tentunya dia pilih arang agar bisa dbakar sehingga bsa menghangatkan badan dan dia terhindar serangan hypothermia.

Tapi mungkin kita juga akan mendapat jawaban yg berbeda bila kita bertanya pada seorang pengemis yg sedang kelaparan, tentunya dia akan memilih intan, agar bisa dijual untuk dia membeli makan sehingga dia terhindar dari maut akibat kelaparan.

Nilai dari suatu barang tak seharusnya bisa langsung kita judge begitu saja, ada pertimbangan lain yg harus kita pikirkan juga, yaitu kebutuhan.

Mungkin akan lebih tepat bagì kita jika kita memohon untuk diberikan apa yg kita butuhkan bukannya apa yang kita inginkan, hhe, iya ga sih?



nb: maaf jika cara berpikir penulis beda dengan orang kebanyakan, beda bukan berarti salah kan?

Catatan Perjalanan : Merbabu 24-25 Januari 2009

Udara dingin kian tak terasa ketika kami berjalan melintasi jalan yang dibentuk meyerupai anak tangga itu. Maklum, beban berat dan jalan menanjak membuat tubuh kami terus menerus mengeluarkan keringat. Sore itu, kami baru saja meninggalkan Dusun Wekas, sebuah kampung kecil di kaki Merbabu yang sekaligus juga menjadi pintu masuk ke Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Pesona alamnya yang menakjubkan serta merta menjadikan gunung yang berdiri bersebelahan dengan Gunung Merapi ini menjadi favorit pendakian di Provinsi Jawa Tengah.

Hari itu, Sabtu, 24 Januari 2009 kami berlima, Aku, Yaser, Kresna, Sonny dan Damara sedang melakukan pendakian ke Gunung Merbabu dalam rangka Pendidikan Lanjut Navigasi Gunung THA XXXVI. Sebuah kegiatan yang diadakan dalam rangka mengenalkan dan memberikan bekal pengetahuan tentang dasar dasar ilmu navigasi darat. Kegiatan ini diperuntukkan bagi angkatan XXXVI, angkatan termuda di THA yang baru sebulan yang lalu telah selesai kami diklat.

Kami berlima bertugas sebagai tim pendarat sekaligus instruktur pada kegiatan tersebut. Sedangkan peserta direncanakan akan berangkat dari Yogyakarta pada sore harinya dengan di-leader-i oleh kawan kawan dari angkatan XXXV.

Kami berangkat memulai perjalanan dari Yogyakarta pada pukul 11.30 dengan menumpang bus Jogja-Tempel. Kemudian sesampainya di Terminal Jombor, segera saja kami turun dan beralih naik ke bus jurusan Jombor- Magelang. Jalanan yang ramai dan keadaan bus yang penuh sesak membuat kami serta merta mengalami kegerahan yang luar biasa. Setelah sekitar 2 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Terminal Magelang. Kedatangan kami segera saja disambut oleh hujan yang lumayan lebat. Di situ kami pindah ke bus jurusan Kopeng yang akan langsung mengantarkan kami ke Dusun Wekas sebagai jalur pendakian yang telah kami sepakati.

Setelah melalui longmarch yang cukup melelahkan akhirnya kami sampai juga di Basecamp Wekas. Kabut yang mengiringi kami selama perjalanan cukup membuat kami miris juga. Khawatir kalau kalau nanti malam akan terjadi badai dan hujan lebat. Setelah sejenak beristirahat dan mengurus segala macam perijinan akhirnya pada pukul 17.00 kami memulai pendakian. Kresna dipilih sebagai leader tim karena diantara kami dialah yang terakhir naik melalui jalur ini.

Pukul 20.00 kami akhirnya sampai di Pos 2. Di tempat inilah malam ini kami akan menginap dan mendirikan camp untuk kemudian bergabung dengan angkatan 35 dan 36 yang berangkat menyusul kami. Rupanya di tempat itu telah berdiri pula camp dari pendaki lain yang berasal dari UPN Veteran.

Setelah sejenak menghela nafas beristirahat, kami segera membagi tugas untuk mendirikan camp. Kresna dan Sonny mendirikan dome, Yaser memasang flysheet, Damara memasak dan Aku sendiri bertugas membuat api unggun. Tidak seberapa lama kemudian camp sudah berdiri, api telah menyala dan makanan pun telah siap. Segera saja kami melahapnya dengan tandas.

Satu jam, dua jam, tiga jam kami menunggu, kecemasan mulai muncul. Ada kekhawatiran di diri kami jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Apalagi kabut mulai turun sehingga sangat mengurangi jarak pandang. Padahal selama kami menunggu, sudah ada dua rombongan besar yang juga sampai di tempat itu. Kami bertanya tanya, dimanakah posisi mereka sekarang. Namun akhirnya kekhawatiran kami tidak terbukti. Rombongan 35 dan 36 telah datang dengan ramainya. Meskipun tampak lelah, mereka semua kelihatan sangat senang dan menikmati perjalanan. Segera saja kami instruksikan pada mereka untuk mendirikan camp dan beristirahat karena hari telah larut dan perjalanan besok masih lumayan berat.


Pagi itu, hujan yang turun tiba tiba segera saja membangunkan kami dari peraduan. Hawa dingin serasa menusuk sampai ke sungsum tulang, kabut pun mulai menyapa dengan dahsyatnya. Pukul 05.30 kami semua telah bangun dan segera memulai aktivitas di pagi itu. Ada yang memasak makanan, membongkar dome, packing, semua sibuk dengan tugasnya masing masing.

Setelah selesai sarapan, rencananya akan ada sedikit materi mengenai navigasi, namun karena jarak pandang tertutup kabut yang lumayan tebal, orientasi tidak dapat dilakukan. Pukul 08.00, setelah mengambil beberapa foto, kami berangkat meninggalkan Pos 2. Leader dipegang oleh Kadep-Wakadep 35. Kami sendiri (32 red) berada di posisi belakang. Perjalanan dilakukan menyusuri jalan setapak di tengah tengah kawasan hutan. Jalanan yang licin dan lumayan menanjak terasa cukup melelahkan kami juga.


Pukul 09.30, rombongan sampai di pertigaan tower BTS. Melihat cuaca yang lumayan cerah, segera saja mengalir instruksi untuk melakukan orientasi posisi. Namun baru beberapa menit memegang peta dan kompas, kabut kembali turun. Kali ini juga disertai oleh gerimis. Segera saja perjalanan dilanjutkan kembali. Puncak yang sudah terlihat menambah semangat kami untuk segera mencapainya.

Dengan diiringi gerimis, sekitar pukul 11.45 rombongan depan telah sampai di persimpangan puncak Syarif dan Kentengsongo. Perjalanan menuju Puncak Syarif dari persimpangan memakan waktu sekitar 10 menit. Puncak syarif yang berketinggian 3119 mdpl itu sering pula disebut sebagai Puncak Pregodalem. Kemudian perjalanan dari persimpangan menuju Puncak Kentengsongo ditempuh dalm waktu sekitar 30 menit. Perjalanan melalui punggungan punggungan dan tebing dapat kami lalui dengan melintas traverse satu persatu, melalui tanjakan terjal yang dikenal sebagai Ondorante.

Pukul 12.45, seluruh rombongan telah sampai di Puncak Kentengsongo. Cuaca yang sedari pagi terlihat mendung tiba tiba berganti menjadi sangat cerah. Di Puncak Kentengsongo, kami berstirahat cukup lama, sekitar 1 jam. Pemandangan yang sangat indah memaksa kami untuk betah memandang sekitar. Dari Puncak Kentengsongo, di balut kabut tipis terlihat siluet Gunung Lawu di timur, Merapi di selatan dan Sindoro-Sumbing-Ngandong di sisi barat.

Setelah cukup lama berisirahat, makan makanan kecil dan mengambil foto bersama, pukul 13.30 kami memulai perjalanan turun ke Ladang Edelweis. Baru beberapa menit berjalanan, cuaca kembali mendung, hujan pun mulai turun. Sesampainya di Ladang Edelweis, perut yang telah keroncongan segera memaklumatkan kami untuk berhenti dan mulai memasak makanan. Saat itu gerimis masih turun membasahi permukaan bumi. Dengan perlindungan ponco dan flysheet, kami menikmati acara makan siang itu.


Pukul 15.00, kami memulai perjalanan turun ke Basecamp melalui Jalur Selo. Jalanan yang licin dan hujan gerimis lumayan menghambat perjalanan kami. Terpeleset dan terperosok sepertinya hampir dialami oleh semua anggota rombongan. Namun, semua itu tidak menjadi masalah karena kami disuguhi oleh pesona alam yang luar biasa indahnya. Hamparan sabana, ladang edelweiss, dan bukit bukit yang menghijau seolah menyegarkan pandangan kami.

Sekitar pukul 16.30, rombongan sampai di pertigaan di bawah Tracking Inmemoriam. Kami pun mengambil jalur ke kiri untuk menghindari kemungkinan tersesat. Ketika itu rombongan terbagi menjadi dua rombongan besar, tetapi tidak begitu menjadi masalah karena kami sudah lumayan hafal Jalur Selo ini. Ditemani oleh kegelapan malam dan kesunyian hutan, pukul 19.30 seluruh rombongan telah sampai di Basecamp Selo. Karena rombongan ternyata telah ditunggu oleh bus jemputan di Polsek Selo, kamipun segera bergegas membersihkan diri untuk kemudian memulai longmarch ke tempat jemputan. Rasa lelah yang mendera kami, semakin mempercepat langkah kami, ingin segera sampai di rumah.

Pukul 22.00, bus berangkat meninggalkan Kecamatan Selo menuju ke Yogyakarta. Dan sampai di tempat tujuan, SMA 1 Yogyakarta pukul 01.00. Aku sendiri, bersama Yaser tidak ikut turun ke Yogyakarta karena kami berdua telah berencana untuk sekalian mendaki Gunung Merapi keesokan harinya.

“bukan gunung tinggi yang ingin kudaki,

bukan pula tanjakan melintang yang ingin kuterjang,
ketika logika ini tak lagi ada,
ketika intuisi tak punya arti,
ketika harapan tak jadi kenyataan,
hanya sahabat sejati yang kan selalu di hati.”

Monday, June 7, 2010

Pewarna Hijau

Tes Test Testt........